The Divine Fury tak menghadirkan feel dari film horor Asia pada umumnya. Namun, film ini lebih mengasikan dari banyak film pengusiran setan yang ada.
Yong-hoo (Park Seo-joon) adalah seorang anak yatim. Ibu Yong-hoo meningggal saat melahirkan dirinya. Namun, Ia masih punya seorang ayah yang mengasihinya. Yong-hoo kecil dan ayahnya adalah sebuah keluarga Katolik yang taat. Rajin beribadah, mendengar khotbah, dan berdoa. Namun, suatu kejadian membuat keadaan berubah. Ayah Yong-hoo sekarat. Ia mengalami insiden saat melaksanakan tugas kepolisiannya. Yong-hoo berlari ke gereja. Ia berdoa memohon kepada Tuhan agar ayahnya diberi keselamatan. Ia berdoa dan terus berdoa. Namun, rencana Pencipta berkata lain. Ayah Yong-hoo meninggal. Yong-hoo kecil naik pitam. Ia tak bisa menerima semua itu. Pertama ibunya, kini ayahnya. Yong-hoo murka. Ia tak percaya--lagi--kepada Tuhan. 20 tahun berjalan, Yong-hoo telah menjadi petarung MMA ternama. Tak terkalahkan dan pemegang gelar juara. Namun, suatu ketika kejadian aneh mulai menimpanya. Yong-hoo menerima luka aneh di telapak tangannya, tanpa tahu sebab akibatnya. Luka memburuk dari hari ke hari. Dokter tak bisa mendiaknosa penyebabnya. Akhirnya—singkat cerita, Yong-hoo bertemu Pastur Ahn (Ahn Sung-ki). Ia adalah pastur asal Vatikan yang sedang ditugaskan di Korea Selatan (Korsel) untuk memburu seorang “Pastur Hitam” penyembah berhala. Pastur Ahn memberi tahu bahwa luka yang dialami Yong-hoo adalah stigmata, yaitu luka yang berasal dari Tuhan. Yong-hoo, yang sudah lama membenci Tuhan tak percaya akan hal tersebut. Namun, entah mengapa, peristiwa demi peristiwa terus mengantarkan Yong-hoo kembali kepada Pastur Ahn. Petualangan Yong-hoo dan Pastur Ahn dalam memburu iblis pun dimulai! Film horor bertemakan pengusiran setan memang selalu menarik perhatian saya, walau—memang—premis yang ditawarkan The Divine Fury bukan hal yang baru lagi. Saat melihat trailer dan membaca sinopsis The Divine Fury, saya teringat wajah Keanu Reeves dalam film Constantine (2005).
Ya, ide cerita The Divine Fury dan Constantine memang memiliki dasar yang kurang lebih sama: berkisah tentang seorang pria yang bergumul dengan imannya, namun hal tersebut jadi ironi sebab di sisi lain ia diberi bakat untuk membasmi para iblis yang coba menghancurkan jiwa manusia. Selain Constantine, saya juga teringat film pengusiran setan dari Korsel lainnya, The Priest (2015). Duet Yong-hoo dan Pastur Ahn dalam The Divine Fury mengingatkan saya dengan duet Pastur Kim dan Choi dalam The Priest. Formulasi yang dipakai kedua film itu juga sama: menempatkan dua karakter yang bekerja sama namun punya kepribadian yang berlawanan. Ya, memang tipikal buddy-film pada umumnya, namun duet Yong-hoo dan Pastur Ahn tetap menciptakan chemistry yang unik dan menghibur. The Divine Fury sangat kental dengan mistisisme Katolik. Sampai di titik ini, The Divine Fury sangat terasa seperti film exorcism Hollywood. Tak ada kultur Korsel yang benar-benar ditampilkan. Bahkan, The Priest yang juga menitikberatkan ajaran Katolik tetap mengkolaborasikan antara pengusiran setan ala Vatikan dan pengusiran setan ala dukun tradisional Korsel. Memang, hal tersebut tak terlalu mengganggu saya. Namun, bagi kamu yang berharap akan merasakan feel film horor asia yang kental dengan arwah gentayangan dan legenda horor setempat, tak akan menemukan hal tersebut dalam The Divine Fury. Cek Juga: Review Film Thelma, Suram dan Menghipnotis Film ini juga banyak menampilkan adegan laga. Hal ini membuat The Divine Fury lebih asik dinikmati. Bahkan untuk penonton yang anti-horor sekaligus. Ya, The Divine Fury memang bukan jenis film horor yang banyak menampilkan jump-scare menyebalkan. Film lebih berfokus menciptakan suasana menegangkan dengan spesial efek yang apik. Drama yang jadi penopang cerita juga berhasil membuat karakter Yong-hoo jadi lebih hidup. Walau harus saya katakan tak ada yang spesial dari penampilan Seo-joon dalam memerankan karakter Yong-hoo. Bagus, namun tak lebih. Untungnya, karakternya dibantu oleh Sung-ki yang tampil jauh lebih apik memerankan karakter Pastur Ahn. Villian dalam karakter Ji-sin (Woo Do-hwan) juga berhasil membuat jalan cerita lebih menarik. Hanya saja, saya merasa karakter Pastur Choi (Choi Woo-sik) sedikit mengganggu. Perannya tak terlalu penting, namun cukup banyak jatah tampil. Akhirnya, pada ending film, alasannya baru terungkap. Sepertinya, Pastur Choi akan mendapat film sendiri, yang sekaligus jadi spin-off The Divine Fury. Kalau ingatan saya masih bagus, film itu akan bertajuk The Green Exorcism (CMIIW). Secara keseluruhan, jalan cerita The Divine Fury berjalan mulus: ringan untuk dinikmati dan ditangkap para penonton. Tak ada plot hole yang mengganggu. Premis cerita memang tak bisa dibilang orisinal. Namun, drama dan laga sebagai penopang dan bumbu cerita berhasil membuat The Divine Fury lebih asik untuk dinikmati.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
August 2019
Categories
All
|