Membaca Aleppo berarti membaca sosok Rusdi Mathari: kumpulan kisah mengasyikkan dari pribadi pemuda nakal, suami mesra, ayah pengasih, wartawan keras kepala, dan manusia yang layaknya manusia. Sebelumnya, saya tak pernah mengenal sosok Rusdi Mathari. Baru, pada akhir tahun lalu, saat saya menjadi panitia acara pelatihan jurnalistik, seorang pemateri menghadiahi saya buku. Buku berwarna kuning pastel. Sampulnya dihiasi ilustrasi bom-bom kendali yang hendak jatuh pada sebuah kota. Kota itu sendiri penuh dengan hiasan cinta, berbentuk hati berwarna merah. Eksentrik memang. Aleppo, begitu tertulis di sampul buku itu. Dan betul, Aleppo merupakan buku karya dari Rusdi Mathari. Itulah awal perkenal saya dengan sosok Cak Rusdi—begitu sapaan akrabnya. Cak Rusdi sendiri merupakan seorang wartawan kawakan yang sudah ‘bosan’ lalu-lalang di dunia jurnalistik Indonesia. Ya, bosan mungkin kata yang sedikit berlebihan, namun saya rasa dapat dibenarkan melihat aktifitasnya beberapa tahun terakhir yang sudah tak aktif bekerja untuk media arus utama. Belakangan—sebelum beliau wafat pada awal Maret 2018, Cak Rusdi hanya aktif menulis di akun Facebook pribadinya, situs pribadi rusdimathari.com, dan situs mojok.co. Selain itu, ia juga mulai menulis buku, dan Aleppo merupakan buku pertamanya. Aleppo sendiri merupakan kumpulan catatan Cak Rusdi yang telah ia publikasi di akun Facebook pribadinya. Dalam buku ini, pembaca akan disajikan tulisan-tulisan ‘sederhana’ yang mengasyikkan dari Cak Rusdi. Aleppo dibagi menjadi delapan bagian: Situbondo-Malang, yang berisi cerita Cak Rusdi pada masa kecil hingga menjadi mahasiswa, kisah-kisah yang penuh dengan aksi dan kebengalan. Kemudian Situbondo-jakarta, yang banyak menonjolkan transformasi Cak Rusdi dari seorang pemuda ‘berantakan’ menjadi seorang family-man ketika ia sudah beranjak berkeluarga. Dilanjutkan jakarta-Jakarta, yang pada bagian ini Cak Rusdi mulai tajam mengkritik berbagai masalah politik dan sosial, namun dibalut dengan kalimat yang santun dan asyik. Selanjutnya Cak Rusdi dengan gamblang menceritakan aib-aib diri sendiri pada bagian Rusdi. Lalu ada Langit-Bumi—yang merupakan bagian favorit saya, berisi pandangan yang begitu menyejukkan dari Cak Rusdi mengenai agama, kepercayaan, dan masalah yang menyelimutinya. Kemudian ada Nejad-Obama, bab ini sedikit berbeda dari bab-bab sebelumnya, sebab kali ini Cak Rusdi memakai kisah para tokoh publik sebagai pintu masuk untuk memaparkan pemikirannya. Lanjut, ada bagian Cilok Ahimsa, yang isinya hampir sama dengan bab sebelumnya, namun kali ini tokoh yang dipilih Cak Rusdi bukanlah nama-nama ternama melainkan hanya orang-orang pinggiran yang dinarasikan kisahnya oleh Cak Rusdi. Terakhir ada Aleppo, yang pada bab ini mendadak tulisan Cak Rusdi menjadi sangat sastrawi: penuh dengan prosa dan romantisisme—sangat berbeda dari tulisan beliau pada wajarnya. Secara keseluruhan, Aleppo memang buku yang sangat personal. Namun, Aleppo juga tak bisa disebut biografi. Di sisi lain, buku ini juga bukan karangan bebas. Ya, sulit memang mendefinisikan buku unik yang satu ini.
Cak Rusdi mampu menarasikan perspektifnya dari kisah hidup pribadi layaknya kedalam bentuk cerita pendek (cerpen). Personal namun enak dibaca. Personal namun membumi untuk banyak orang. Membaca Aleppo, layaknya membaca buku antologi cerpen, yang pada kenyataan hanya kumpulan catatan dari pemikiran seseorang Rusdi Mathari. Pemikiran yang sepertinya tumpah ruah begitu saja dalam sebuah tulisan: sebab sangat sederhana dan mengasyikkan. Namun, tulisan-tulisan itu tak dapat diremehkan karena mengandung banyak zat adiktif yang dapat membuat pembacanya tersenyum kecut: Cak Rusdi kerap kali menyisipkan satire halus maupun blak-blakkan di dalamnya. Ya, Aleppo bukanlah buku yang berat untuk dibaca: sedap dinikmati saat nyantai. Pun, Aleppo bukan jenis buku yang merajuk saat ditinggal pembacanya: buku ini tak harus kebut diselesaikan hanya dalam waktu beberapa hari—tetap enak dibaca walau sempat dilupakan. Namun karena terkesan sangat personal, saya menyadari ada beberapa bagian dari Aleppo yang mungkin bukan untuk semua kalangan. Saya pribadi tak terlalu menikmati bab akhir buku ini. Di atas semua itu, Aleppo merupakan pintu masuk yang pas untuk mengenal pribadi Rusdi Mathari. Bahkan dapat saya katakan, Aleppo merupakan buku pencuci otak yang dapat membuat pembacanya kagum dengan sosok Rusdi Mathari. Salam terhangat, dari bumi untuk Cak Rusdi.
0 Comments
Leave a Reply. |
ArchivesCategories
All
|