"Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia!" - Mahbub Djunaidi
Suatu sore suntuk, saya sedang berselancar di internet. Beberapa menit saya hanya termenung menatap layar laptop 14 inci keluaran pabrikan Amerika milik saya. Hingga, akhirnya jari-jari mulai mengetik “Best Satire Novel” di kolom pencarian Google. Hasilnya, saya menemukan banyak judul novel yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Namun, ada satu judul novel yang mencuri perhatian saya. Novel itu hampir selalu berada di peringkat pertama—jika tidak di peringkat kedua—dalam daftar rekomendasi novel satire yang saya lihat. Ya, novel itu bertajuk Animal Farm karya Sastrawan Inggris George Orwell. Dan, tak butuh waktu lama bagi saya memutuskan untuk mencari novel tersebut. Begitu juga ketika saya mendapat novel tersebut, tak butuh waktu lama memutuskan untuk langsung membacanya—walau masih banyak buku terdahulu yang masih saya anggurkan. Hasilnya, saya terpukau. Tak sulit rasanya memahami mengapa Animal Farm hampir selalu bertengger di peringkat atas dalam daftar rekomendasi novel satire. Seperti judulnya, Animal Farm bercerita tentang sebuah peternakan hewan di Inggris. Udah gitu doang? Enggak dong. Cerita bermula ketika seekor babi tua yang disegani, Major, mengumpulkan semua binatang di peternakan. Dalam pertemuan itu, ia menceritakan visinya tentang sebuah dunia di mana semua binatang berkuasa atas dirinya sendiri. Binatang tak perlu lagi menjadi jongos manusia. Binatang mampu menyanggupi sendiri keperluannya tanpa campur tangan manusia. Namun, untuk mewujudkan visinya itu, harus ada suatu pemberontakan! Ya, pemberontakan binatang terhadap manusia. Pemikiran Major ini kemudian dirumuskan ke dalam sebuah pandangan yang disebut Binatangisme. Setelah pertemuan, ternyata pemberontakan benar terjadi. Bahkan, terjadi tanpa diduga dan lebih cepat dari yang pernah dibayangkan. Akhirnya, seperti yang dimimpikan, para binatang berhasil menggulingkan kekuasaan manusia di peternakan itu. Peternakan kemudian dipimpin oleh dua babi cerdas penerus Major: Snowball dan Napoleon. Namun, hari demi hari, bulan demi bulan, dan musim demi musim ternyata berbagai masalah mulai menghampiri peternakan. Masalah tak hanya datang dari luar, namun juga dari dalam. Di bawah tekanan manusia yang terus coba mengambil alih kembali peternakan, para bintang juga dibuat bersitegang dengan perseteruan dua pemimpin mereka: Snowball dan Napoleon. Bagaimanapun juga, apa yang bisa diharapkan dari dualisme kekuasaan? Yang ada hanya perpecahan dan kekacauan. Dan mau tak mau salah satu harus disingkirkan! Apapun caranya! Ya, premis yang ditawarkan Animal Farm memang sangat menarik. Kejeniusan Orwell dalam menggambarkan realitas politik kekuasaan ke dalam dunia binatang sungguh mengesankan. Di bab awal, saya langsung tersenyum kecut. Pidato babi tua Major kepada para binatang langsung membuat kemanusiaan saya tertusuk. Orwell berhasil membuat prolog memikat yang meyakinkan saya bahwa cerita ke depannya akan menarik. Tak hanya itu, Orwell juga berhasil menciptakan karakter dengan sifat uniknya masing-masing. Ada binatang yang akan membuat pembaca gemas, bintang yang membuat pembaca geram, dan binatang yang membuat pembaca miris. Karakter-karakter tersebut dikembangkan dengan apik oleh Orwell. Sehingga, mereka sukses memberi warna tersendiri untuk jalan cerita dan kesan tersendiri untuk pembacanya. Cerita juga dibangun dengan perlahan-tapi-pasti. Walau tak dapat dimungkiri, bab akhir terasa sedikit terburu-buru. Untungnya, paragraf penghabisan berhasil membuat kesan mendalam dan merangkum keseluruhan cerita dengan baik. Di atas semua itu, konflik-konflik yang disajikan dalam Animal Farm memang sangat revelan dengan realitas yang ada. Tak hanya pada masa pertengahan abad 20—ketika novel ini dibuat, namun juga pada masa kini. Cek Juga: Review Buku Aleppo: Asyik Bersama Cak Rusdi Ya, Animal Farm memang novel yang melintasi zaman. Tak berlebihan rasanya jika saya katakan novel yang satu ini akan terus dibaca untuk 100, 200, bahkan 1000 tahun yang akan datang. Tak hanya menjadi cerminan sejarah kelam masa totalitarian, novel ini juga menjadi cerminan untuk masa kini dan mendatang. Bukan hanya melintasi zaman, Animal Farm juga melintasi umur dan pengetahuan seseorang. Maksudnya, novel ini dapat dinikmati segala umur dengan penafsirannya masing-masing. Jikalau yang membaca novel ini ialah siswa SD, mereka tetap bisa menikmati ceritanya karena memang dinarasikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Namun tentu saja, mereka akan mengira Animal Farm hanya berkisah tentang binatang jahat dan binatang baik—dalam arti sebenarnya. Dan bagi kamu yang sudah sedikit banyak belajar sejarah, politik, atau teori kekuasaan, kamu akan menikmati novel ini dengan perspektif yang lebih luas: bagaimana dalam meraih kekuasaan mutlak, para pemimpin totalitarian selalu membodohi, membohongi, dan mencuci otak masyarakatnya. Oleh karena itu, saya sangat merekomendasikan novel yang satu ini untuk kalian para calon pemimpin masa depan. Terakhir, saya ingin meminjam kutipan Mahbub Djunaidi dalam buku Humor Jurnalistik: "Jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia!"
0 Comments
Leave a Reply. |
ArchivesCategories
All
|