Aksi duo Dave Bautista dan Kumail Nanjiani berhasil menyelamatkan film ini.
Stu (Kumail Nanjiani) adalah pria tanggung yang sederhana. Tak ada yang spesial dengan dunianya. Belum menikah, tak punya pacar, dan tak bernyali menyatakan cinta kepada gebetannya. Ia bekerja paruh waktu sebagai supir taksi daring, Uber. Vic Manning (Dave Bautista) adalah seorang polisi berpengalaman dengan badan penuh otot. Namun, ia terjebak oleh masa lalunya. Masa lalu di mana rekannya dibunuh oleh seorang bandar narkoba bernama Tedjo (Iko Uwais). Hidupnya kini hanya bertujuaan menuntut balas dendam kepada Tedjo. Pada suatu siang terik, berkat aplikasi Uber, mereka berdua—Stu dan Vic—dipertemukan. Vic yang dalam misi memburu Tedjo mengalami masalah pada matanya. Ia tak sanggup menyetir. Mau tak mau, Vic memesan Uber, yang ternyata diterima Stu. Petualangan duo polisi dan supir uber dalam mengejar penjahatan pun dimulai. Ya, premis yang ditawarkan oleh Stuber cukup segar. Untuk film aksi-komedi, duo polisi dan supir taksi memang cukup unik. Ya, walaupun bukan hal yang baru. Seperti duo-duo yang telah ada dalam film aksi-komedi pada umumnya, dalam Stuber, duo Vic dan Stu memiliki sifat yang berlawanan. Dan memang, inilah formula yang selalu membuat film aksi-komedi sejenis menjadi menarik. Vic dengan masa lalu yang keras selalu menghadapi masalah dengan cara laki! Sedangkan Stu, selalu menghadapi masalah dengan memakai perasaan. Aksi dan perdebatan mereka yang selalu bertentangan inilah yang jadi poin terbaik dalam Stuber. Hal tersebut didukung oleh akting mereka yang spesial. Sayangnya, penampilan mereka berdua tak dapat diimbangi oleh karakter-karakter lainnya. Bahkan, entah mengapa saya merasa terlalu banyak karakter yang sebenarnya tak perlu ada: pelengkap jalan cerita yang sia-sia.
Seperti Angie (Mira Sorvino), atasan Vic di kepolisian, yang seharusnya diatur jadi pembuat plot twist terbesar, malah jadi karakter yang kesannya cuma nyempil saja di film. Ya, tentu itu bukan salah si aktris, melainkan penulisan naskah yang buruk. Selain itu, yang jadi sorotan dalam Stuber, khususnya para penikmat film di Indonesia, adalah penampilan Iko Uwais. Karakternya, Tedjo, yang sebenarnya jadi antagonis utama ternyata tampil sangat minim, hanya dalam prolog dan adegan-adegan akhir. Saya sebenarnya sempat sedikit bingung, bagaimana bisa si antagonis utama sama sekali tak diceritakan latar belakangnya. Hasilnya, drama balas dendam Vic kepada Tedjo terasa hambar. Ya, film memang lebih berfokus ke drama percintaan dan keluarga daripada drama yang ada dalam premis film: pembalasan dendam. Untuk adegan laganya, tak ada spesial. Tipikal adegan laga B-movie. Namun, pengecualian di adegan laga pada prolog. Setelahnya? B aja~ Komedinya lah yang membuat Stuber tak membosankan. Banyak lelucon segar yang saya temukan. Sayangnya, lelucon garing juga kerap muncul. Secara keseluruhan, film berjalan tanpa fokus yang jelas. Daripada disebut film komedi-aksi pembalasan dendam, Stuber lebih cocok disebut komedi-aksi drama percintaan dan drama keluarga. Adegan laga dan komedi tak bisa dibilang bagus namun tak adil juga dibilang jelek. Untungnya, film diselamatkan oleh penampilan apik duo Bautista dan Nanjiani. Aksi dan chemistry mereka berdua berhasil membuat Stuber jauh lebih hidup. Terakhir, Stuber memang bukan film aksi-komedi terbaik, namun tetap layak menjadi tontonan penghilang rasa suntuk setelah berkegiatan seharian.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
August 2019
Categories
All
|