Sudah lama berkutat dengan genre drama-keluarga, kali ini sutradara sekaligus penulis skenario Koreeda mencoba keluar dari zona aman dengan menggarap film drama-misteri.
Nobody Knows (2004); Still Walking (2008); Like Father, Like Son (2013); serta I Wish (2011) merupakan segelintir judul film drama-keluarga garapan sutradara kawakan Jepang, Hirokazu Koreeda, yang sukses menembus box office dunia. Ya, dapat dikatakan sutradara peraih empat piala Japanese Academy Awards tersebut merupakan spesialis genre drama-keluarga. Namun, seperti ingin menelusuri dunia baru, kali ini Koreeda mencoba peruntungan dengan menggarap film bertemakan pembunuhan: Sandome no Satsujin a.k.a. The Third Murder. Secara garis besar, film ini berfokus pada usaha Tamoaki Shigemori (Masaharu Fukuyama), seorang pengacara terkenal, dalam memenangkan kasus kliennya, Misumi (Kôji Yakusho), dalam sebuah sidang pembunuhan. Misumi yang mengakui telah membunuh mantan bosnya, membuat Shigemori harus mencari alibi yang dapat membuat Misumi terhindar dari hukuman mati. Tak seperti film misteri-pembunuhan pada umumnya yang menimbulkan pertanyaan besar, “Siapa?”, pada The Third Murder, yang menjadi pertanyaan besar adalah, “Mengapa?”. Film ini tak fokus mencari jawaban, “Siapa pembunuhnya?”, melainkan, “Mengapa ia membunuhnya?” Ya, narasi seperti itu memang sering digunakan di film-film misteri Jepang maupun Korsel, di mana “pelaku” sudah diketahui dari awal dan para protagonis akan berjuang untuk menemukan jawaban, “Mengapa?” dan “Bagaimana?”. Kontras dengan narasi film misteri Hollywood pada umumnya, yang lebih suka menimbulkan pertanyaan besar, “Siapa?” Kembali ke cerita: Misumi sendiri mengaku kepada Shigemori bahwa motif pembunuhnya adalah masalah ekonomi. Namun, Shigemori menemukan banyak informasi yang bertentangan dengan pernyataan Misumi—termasuk mengenai motif pembunuhnya. Dan akhirnya Shigemori sadar terdapat lubang besar pada kasus pembunuhan Misumi. Shigemori, yang pada awalnya hanya fokus untuk memenangkan kasus Misumi, menjadi tertarik menemukan jawaban sebenarnya dari kasus tersebut. Layaknya anak kecil yang diberi puzzle, Shigemori berusaha menemukan serpihan informasi dan menyusunnya sehingga tercipta gambar sempurna dan menemukan semua jawaban, “Apa yang sebenarnya terjadi?” Hal ini, kemudian, membuat Shigemori bertemu dengan istri dan putri dari korban, Yamanaka Misue (Yuki Saitô) dan Yamanaka Sakie (Suzu Hirose). Dari pertemuan ini, Shigemori menemukan informasi-informasi yang membuat kasus Misumi semakin rumit. Di sisi lain, Shigemori juga menemukan alibi kuat yang dapat membela Misumi: Sakie, putri dari korban, mengaku bahwa ia dan Misumi sudah mengenal satu sama lain sebelumnya. Sakie, yang mempunyai masalah besar dengan ayahnya, mengaku bahwa Misumi membunuh ayahnya untuk melindungi dirinya. Namun, siapa sangka, alibi kuat tersebut disangkal Misumi. Menurutnya, semua yang dikatakan Sakie adalah kebohongan. Misumi mengakui sebuah kejadian yang membuat Shigemori dilema—sekaligus menjadi twist terbesar dalam film ini. Dari pengakuan Misumi, kembali timbul suatu pertanyaan besar. Pertanyaan yang seharusnya sudah terjawab dari awal, namun akhirnya tidak terjawab secara pasti sampai detik akhir film, yang membuat The Third Murder berakhir dengan ambigu. Ya, pada tahap ini, saya rasa Koreeda ingin membuat penontonnya menafsirkan sendiri jawaban dari pertanyaan besar yang tak terjawab tersebut. Plot seperti ini, sebagian orang menyebutnya dengan cliffhanger ending.
Pun, seperti tak ingin meninggalkan identitas aslinya, Koreeda juga tak luput membumbui The Third Murder dengan drama problematika keluarga, khas film-filmnya terdahulu. Walaupun tak mendominasi, unsur drama-keluarga menjadi katalis untuk jalan cerita keseluruhan. Secara cerdik, Koreeda dapat menulis skenario yang tak menghakimi setiap karakter—walaupun kenyataannya beberapa karakter pantas dihakimi. Sebaliknya, Koreeda juga dapat membuat menonton bersimpati kepada setiap karakter. Tak heran, jika Koreeda berhasil menyabet gelar Naskah Terbaik di pagelaran Japanese Academy Awards 2018 untuk fim ini. Yang tak kalah mencuri perhatian ialah sinematografi dari The Third Murder. Mikiya Takimoto, sang sinematografer, benar-benar menunjukkan bakatnya di film ini. Framing di berbagai adegan terlihat sangat istimewa. Bahkan, pada saat film banyak menampilkan adegan perbincangan antara Shigemori dan Misumi di sebuah ruangan penjara yang dipisahkan dengan kaca, yang sangat berpotensi membuat penonton menjadi bosan, Takimoto dapat mengkonsepnya dengan sedemikian rupa, sehingga terlihat lebih menarik, bahkan dramatis. Peran dari Kôji Yakusho juga sangat memukau di film ini. Ya, sepertinya ia sudah paham betul memerankan karakter ayah yang frustasi; yang merasa gagal menjadi ayah; yang mempunyai keluarga berantakan, layaknya peran yang sukses ia mainkan di film The World of Kanako (2014). Sayangnya, penampilan Yakusho kurang bisa ditandingi lawan mainnya, Masaharu Fukuyama. Penampilannya memang dapat dikatakan bagus secara kesuluruhan, sialnya, ia harus berhadap dengan aktor dan aktris yang perannya benar-benar memukau, Yakusho dan Suzu Hirose. Suzu Hirose, aktris muda yang sedang naik daun, benar-benar dapat memerankan karakter Sakie dengan sempurna. Karakternya yang selalu “lemas” dan misterius merupakan salah satu aspek terbaik di film ini. Maka tak mengherankan berkat penampilan menakjubkan tersebut, masing-masing Kôji Yakusho dan Suzu Hirose diganjar penghargaan Aktor Pendukung Terbaik dan Aktris Pendukung Terbaik di ajang Japanese Academy Awards 2018. Mereka berhasil mengalahkan nama-nama besar lainnya seperti Ryuhei Matsuda dan Keiko Kitagawa. Sebagai penikmat film misteri, saya pribadi berhasil terpuaskan melihat The Third Murder. Walaupun sepanjang jalan cerita banyak disajikan dialog-dialog panjang yang berpotensi membuat bosan, hal tersebut dapat ditutupi dengan banyaknya plot twist yang disajikan, kecil maupun besar. Pada akhirnya, seperti yang sudah disinggung di atas, Koreeda menutup The Third Murder dengan sebuah pertanyaan besar. Tidak ada petunjuk konkret yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Namun satu hal yang pasti, seperti yang dikatakan Misumi dan Sakie, “Tak ada seorangpun yang mengatakan kebenaran.” Jadi, silahkan menyimpulkan sendiri ke-ambiguitas-an drama pembunuh ini. **Resensi saya ini pertama kali diterbitkan di laman karepe.com dan kaskus.co.id
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
August 2019
Categories
All
|