Kisah-kisah yang coba diceritakan Pram dalam buku ini terasa sangat dekat kehidupan kita. Bahkan, mungkin telah/sedang/akan kamu alami.
Suatu hari di pertengahan 2019, perkuliahan telah usai. Namun hari masih panjang. Matahari baru sampai di tengah-tengah orbitnya. Tak ingin langsung pulang, hasrat membawa saya ke perpustakaan universitas. Kebetulan, sebentar lagi libur semester. Libur panjang. Saya yang tak punya niat liburan berencana mengisi waktu dengan membaca buku (selain nonton tentunya). Hal itu yang mendasari saya pergi ke perpustakaan, dengan harapan di sana menemukan bacaan yang bagus untuk dipinjam. Iseng, saya coba mengetik Pramoedya Ananta Toer di direktori buku perpustakaan. Hasilnya, ternyata perpustakaan universitas tempat saya menghabiskan waktu ini banyak mengoleksi buku karya Pram. Sebelumnya, saya tak pernah tahu ternyata perpustakaan mengoleksi buku-buku sastra. Sebagai anak jurusan sosial, saya biasa nongkrong di lantai 3, sedangkan buku-buku sastra ada di lantai empat. Di rak-rak terakhir pula. Di direktori, tercatat ada novel-novel ternama Pram seperti ke-4 novel Tetralogi Buruh, Cerita dari Blora, Cerita dari Digul, Kronik Revolusi Indonesia, Percikan Revolusi Subuh, dan Mereka yang Dilumpuhkan. Namun, ketika saya cek, hanya nampak Cerita dari Blora, Percikan Revolusi Subuh, dan Mereka yang Dilumpuhkan. Itupun masing-masing satu eksemplar. Dan saya memutuskan meminjam ketiganya. Hehe. Libur telah tiba. Libur telah tiba. Hore! Hore! Hore! Saya memutuskan membaca Cerita dari Blora terlebih dahulu, yang merupakan antologi cerita pendek (cerpen) Pram. Cerpen-cerpen itu sendiri ia tulis semasa revolusi Indonesia kepada Belanda (1945-1949). Total, ada 11 cerpen. Dalam kesebelas cerpen tersebut, terdapat satu ciri khas yang pasti: menceritakan sebuah keluarga yang terpinggirkan pada masa revolusi. Seperti judulnya, seluruh cerpen berlatar tempat di Blora, kabupaten kecil di pinggiran Jawa Tengah yang sudah berteman dekat dengan kemiskinan. Hal tersebut tercermin jelas di masing-masing cerpennya. Di setiap cerpen, kita akan menemukan keluarga dengan problematiknya masing-masing. Cerita juga tak selalu dinarasikan dari sudut pandang satu lakon, ada yang ada dari sudut pandang seorang anak, seorang ibu, seorang ayah, seorang istri, dan seorang suami.
Kita akan menemukan kisah gadis kecil dalam keluarga yang diambang perceraian. Kisah gadis delapan tahun yang dinikahkan untuk mengurangi beban keluarga. Kisah seorang istri taat yang berubah jadi sundal karena menerima KDRT. Kisah suami yang lupa dengan istrinya yang ia tinggalkan di kampung. Kisah bocah yang menanggung dosa orang tuanya karena dahulu jadi pengkhianat Republik. Kisah perjuangan keluarga tanpa sosok seorang ibu dan istri dalam melewati masa revolusi yang mencengangkan. Dan, kisah-kisah suram yang penuh dengan ajaran moral lainnya. Pram menggambarkan setiap tokohnya dengan sifat-sifat yang sangat mudah kita temukan dalam masyarakat. Pun, konflik yang ditawarkan juga tak jauh-jauh dari permasalahan sosial masyarakat yang sering kita lihat dan dengar di surat kabar maupun gosip-gosip tetangga. Hal itu membuat cerpen-cerpen dalam Cerita dari Blora terasa sangat dekat dengan pembacanya. Dan seperti banyak novel Pram lainnya, beberapa kisah yang diceritakan juga tak jauh-jauh dari kata-kata penjajahan, revolusi, dan Belanda. Kisah-kisah yang sangat kental dengan warna sosial-politik sejarah bangsa ini. Menariknya, Pram berhasil membangun karakter-karakter yang membuat pembaca bingung untuk menilainya. Di satu sisi, karakter itu sangat layak untuk disalahkan karena perbuatannya. Namun di sisi lain, dalam hati kecil kita menaruh rasa simpati pada karakter itu. Ya, beberapa cerpen dalam Cerita dari Blora memang kian memainkan emosi. Cek Juga: Review Novel Animal Farm, Fabel Satire Politik Kekuasaan Selain itu, yang menjadi perhatian saya, untung ukuran cerpen, beberapa cerita yang dikisahkan dalam buku ini bukan main panjangnya. Bahkan salah satu cerpen berjudul Dia yang Menyerah hampir sebanyak 100 halaman! Ya, saya tak tahu apa ini ciri khas Pram sendiri atau memang ciri khas sastrawan angkatan ’45 secara keseluruhan. Namun yang pasti, cerpen-cerpen dalam Cerita dari Blora memang sangat kompleks. Bahkan dalam satu cerpen bisa terdapat beberapa subplot. Unik untuk sebuah cerpen. Cerita dari Blora memang spesial. Buku antologi yang pertama kali diterbitkan pada 1952 ini memang sudah berusia setengah abad lebih. Namun, kita akan tetap dengan mudah dapat menemukan makna dan pesan moral yang ingin disampaikan Pram. Sejarah dan problematika sosial masyarakat yang terkandung dalam cerpen-cerpennya mengajarkan kita nilai-nilai kemanusiaan yang tak bisa ditelan oleh waktu. Terakhir, jadi untuk kamu para penikmat cerpen. Cerita dari Blora adalah buku yang harus segera masuk dalam list want-to-read-mu.
0 Comments
Leave a Reply. |
ArchivesCategories
All
|